Popular Post

Popular Posts

Posted by : Unknown Rabu, 20 November 2013



Dua Bentang Tikar Sembahyang
Oleh Feerlie Moonthana Indhra

Bila ada cukup sisa
Jahitlah lembaran langit tadi untuk
Sepasang tikar sembahyang,
Sebentang untukku, yang masih belajar jadi imam
Sebentang untukmu, makmum yang paling kusayang.

(Dari Puisi Hasan Aspahani, “Dua Bentang Tikar Sembahyang”)


A
yah menerima lamaranmu untukku karena kesalehan yang ia lihat membias lembab di setiap langkah dan lakumu. Aku pun tak ragu sebab senyum santunmu dan tatap lembutmu sudah sedemikian rupa menyihirku. Kita memang tidak pernah dipertemukan oleh waktu sebelumnya, namun takdir yang membuat sesuati pasti dan tidak pernah kebetulan, menuntun derap jiwa kita menyatu dalam satu prosesi walimahan sacral yang dibaluri kesederhanaan dan telah mampu menitiskan keharuan yang dalam. Kucium sepenuh takzim punggung tanganmu sesudah ijab-kabul du Jum’at apgi yang damai itu sepasang mukena kau persembahkan sebagai mahar putih, sesuci harapan kita.
            Bahtera pertama kita yang mungil mulai berkayuh. Menempuh terang dan mendung. Menelusup ke danau tenang hingga laut yang sarat gelombang. Menembus sungai di rimbun belantara yang penuh rahasia. Tak sekali pun kau lepaskan hangat rengkuhmu di pundakku seperti tak sedetik pun ku biarkan renggang dekap eratku di pinggangmu. Seperti sembab rindu Adam kepada potongan rusuknya, Hawa, kita saling menepiskan gundah. Seperti gemuruh cinta di jantung Bilqis, the Queen of Saba’, kepada Sulaiman, kita saling menumbuhkan kegembirann. Selembut tulus kasih Muhammad kepada Khadijah, kita saling belajar menangkap makna yang paling rahasia.
            Aku memakmumimu sepenuh tunduk. Sebab hidup tak lain hamparan untuk melabuhkan ribuan ruku’ dan ribuan sujud. Di belakangmu kau belajar menerjemahkan dzikir pada untaian tasbih tulang unta yang dioleh-olehi ibumu dari Makkah, sesaat sebelum sepasang tanganku dan tanganmu serentak menadah gemetar ke langit kasih sayang-Nya Yang Maha.
            Aduhai Kekasih dunia-akhiratku. Penghulu rindu perjalanan hidup hingga matiku. Bahkan seluruh cinta yang penuh di kalbuku, serasa tak cukup membalas semua kebaikan yang sudah begitu ikhlas keu persembahkan. Begitu baiknya Tuhan, sebab telah mengirimmu ke pintu hari terbilang tahun yang lalu. Menghadiahi aku seorang imam berhati santun, yang akan menuntuk langkah tertatihku meretas ombal, badai dan gelombang.
            Tetapi bukan perkara mudah mendampingi perempuan yang tak akan pernah bisa menghiburmu dengan keturunan yang sehat dan saleh (sejak aku terdiagnosa nebderita kista endometriosis dan rahimku terpaksa diangkat) dan kuyakin tentu hal yang teramat sulit berdamai dengan hatimu sendiri juga keluarga besarmu yang senantiasa menuntut kesempurnaan akan buah cinta kasih tangga kita. Penerus hidup di alama fana dan penyangga ruh di alam baka. Lalu di tengah perjalanan yang tak selalu penuh tawa itu, kauhadapi pula kenyataan bahwa nyeri yang sering menghampiri bukit kecil di dadaku adalah kanker.
            Aku terjatuh di jurang lama yang teramat dalam. Sebagai wanita aku merasa begitu tak sempurna. Lembah ynag mestinya mampu menjadi sewah lading yang subur. Milikku hanyalah tanah kerontang yang tak mampu menghasilkan apa-apa, meskipun dalam setiap waktu dan helaan nafas kau senantiasa berusaha untuk menyuburkan lahan itu dengan siraman cinta dan kasih sayang. Bukit teduh yang kau mestinya menjadi tempatmu melerai kalbu yang terkadang rusuh, justru telah menjadi tandus, berbatu-batu bahkan berhama. Kenyataan inilah ynag membuatku semakin tak sempurna berkhidmat padamu. Imamku tersayang.
            Namu lihatlah! Tak sekali jua ku lihat kau menyesali semua. Meski sering kudapati genangan bening di lembut sudut matamu, tetap kau sungging senyum ketika dalam banyak hal kaudapati aku begitu tak berdaya dan teramat bergantung padamu. Aku tak mampu membayangkan andai nahkoda biduk kita, bukan dirimu. Mungkin sudah lama pelayaran ini berakhir.
            Pelayaran kita semakin kelat dan pekat, menakala penyakit yang semula hanya benjolan sebesar kelereng dan berpendar-bendar di bukit kecilku, yang kupikir hanyalah benjolan biasa, tiba-tiba mengeluarkan darah dan bernanah. Dari hasil diagnosa terakhir benjolan itu divonis kangker ganas. Aku merasakan sakit yang sangat.
            Hari-hariku berlalu semakin berat. Kemoterapi yang menyakitkan membuatku kehilangan banyak kekuatan, bahkan sekedar untuk menopang tubuh yang semakin ringkih. Kepalaku yang perlahan kehilangan mahkotanya tak urung menderai cemas, karena kian mengingatkan betapa aku telah kehilangan kekuatan untuk berkhidmat padaku, Imam Tercintaku.
            Kita pun mulai mendiskusikan kematian. Sebab ia terasa semakin dekat saja. Dan kita sama-sama meyakini sakaratul maut adalah babak perjalanan baru ke sebuah tempat yang menjadi tujuan akhir penghambaan manusia. Tentu tidaklah gampang menerima kematian dengan hati yang sungguh-sungguh lapang. Namun kau dank au berusaha untuk tidak pula menyikapinya sebagai semata-mata keperihan yang hanya menumpah deraskan air mata. Maka yang akan kita lakukan kemudian adalah saling menguatkan. Tak ada yang pasti tahu alamat ajal saat menyua hidup seseorang. Ia adalah sebab bagi perjumpaan dengan-Nya untuk mereka yang bersungguh-sungguh terlebih dahulu, tak akan mengurangi cinta yang telah tumbuh sepanjang penempuhan itu.
            Tak ada yang harus kau risaukan. Begitu selalu kau katakan. Memang untuk menghiburku, namun tak cukup bisa membuatku kuat melawan rasa bersalah. Kau rengkuh tubuhku lembut tanpa kata-kata, namun lewat hangat kecupmu di kering kulit dahiku, kau ungkapkan sepenuh cinta bahwa engkau akan bersabar dengan semuanya.
            Akankah nanti kita dapat dipertemukan kembali?
            Ku tatap penuh sepasang matamu yang selalu merunduk teduh.
            Kau tersenyum. InsyaAllah, Makmum Tersayangku…
            Berbagai  obat dari dokter sudah kuminum. Bahkan operasi pengangkatan payudara pun sudah aku lakukan. Namun ternyata sel kanker yang ganas itu benar-benat telah melumat habis kekebalan tubuhku.
            Aku anfal dan harus dilarikan ke rumah sakit. Aku mulai mengalami krisis keikhlasan, dan kesabaran. Bukan karena penyakit yang terus menggerogoti setiap organ dalam tubuhku, namun lebih kepada rasa iba dan kasihan terhadapmu yang selalu setia merawat dab mendampingiku. Sementara waktuku sangat singkat untuk berbakti padamu. Seperti yang sering kau katakana bakwa aku tak perlu merasa bersalah atau menyesali semua kodrat diri, sebab semua sudah diatur-Nya, termasuk penyakitku. Engkau hanya memintaku untuk lebih sabar dan kuat menerima wujud cinta Sang Pencipta.
            Lamat terdengar suaramu melantunkan surah Yasin. Sesekali kulihat kau menyeka airmata. Di detik yang sama aku diiris perasaan sakit yang serupa. Betapa pisau perpisahan yang seolah terhumus di depan mata tak lama lagi akan segera meneteskan perihnya sebelum menyisakan bilur-bilur luka.
            Saat selesai, kau kecup sampul kuning keemasan itu lalu melatakkannya di sisi kanan bantalku. Kemudian kau bentangkan tikar sembahyang dari pandan hadiah nenek saat pernikahan. Jam dinding manunjukkan pukul tiga dini hari. Ah, betapa aku ingin berada di belakangmu menunaikan tahajud itu seperti biasa. Dengan dua tikar sembahyang, kita usaikan rakaat-rakaat khusyu’ dalam munajah syukur dan juga doa yang runduk.
            Slama kauusaikan. Ketika wajahmu menoleh ke tempat biasa kau jenguk senyumku, makmummu ini, kulihat hujan yang runcing itu menggelinding deras di pipimu. Kau menangis. Sunggug betapa ingin aku menghambur memlukmu. Membiarkan kau terisak sepuasnya di pangkuanku sebelum kuseka lembut airmatamu yang bening iut. Aku nyaris tak pernah melihatmu menangis. Hinggan ketika ahrus menyaksikanmu begini terluka, sungguh tak mampu kuhalau rasa sakit yang sama untuk tidak merejamku sedemikian rupa.
            Kau bangkit mendekati tempat terbaringku. Kemelut seolah terapung di keuda teduh matamu, mengalirkan sizofrenia dan asetat yang teramat pekat ke jiwaku, dan mungkin telah kau lihat lara itu tumpah dan meruah di wajahku yang telah kehilangan ronanya. Bulir-bulir itu bertambah deras. Lalu lagi-lagi kau sunggingkan sebuah senyum ketegaran mercusuar di tengah lautan. Dengan jemari kasihmu kau usap airmataku. Kurasakan berulang kali kecup hangatmu di dahi dan kedua belah pipiku dan dengan gemetar kauraih jemariku. Sebuah cincin platina bermata puith melingkar longgar di jari manisku yang kian hari kian kurus itu. Kau kecup lebut buhul yang menjadi penanda hubungan kita.
            Sekarang aku ikhlas, Sayang. Apa pun yang terbaik bagimu. Jika kau masih sanggup bertahan, maka berjuanglah demi cinta kita. Namun jika telah kaulihat jalanmu di depan, melangkahlah dengan tenang. Karena doaku akan terus menyertaimu, Makmumku Tersayang…
            Kudengar lirih katamu. Hujan dari teduh matamu menderas kembali. Keukecup berulang kali punggung tanganku yang pucat. Di telingaku lafaz syahadah yang kaubisikkan terdengar begitu indah. Meski rasa sakit ini kian mendera, merambati sekujur tubuh, namun aku tak ingin memperlihatkannya padamu. Kututup mata, mencoba melerai rasa sakit.
            Tahukan kamu,Imamku Tercinta, aku belum mau melangkah sebelum mengucap salam padamu. Maka kumohon guncanglah lembut tangan atau bahuku, agar kau bisa mendengae suaraku.
            “Tataplah aku sebentar, Sayang,” pintamu dengan suara bergetar. Lembut kauguncang bahuku. Meski teramat berat, kurasakan kelopak mataku membuka. Senyum hangatmu rekah di bawah sepasang matamu yang basah.
            Assalamu’alaikum… bisikku lirih.
            Kudengar kau menjawab salamku.
            Lalu lafaz syahadah pun kautuntunkan ke lidahku yang terasa semakin berat dan kelu. Sungguh aku bahagia sebab meski pelupukmu smbab, kau tetap berusaha tersenyum seperti yang dulu kuminta.
            Kali ini kudengar kau kembali mengulang lirih sepotong bai puisi yang pernah kau bacakan untukku saat kita duduk berdua menjelang sebuah senja tembaga di beranda:
            Bila ada cukup sisa
            Jahitlah lembaran langit tadi untuk
            Sepasang tikar sembahyang:
            Sebentang untukku, yang masih belajar jadi imam
            Sebentang untukmu, makmum yang paling kusayang.
            Imamku Tersayang! Mungkin pelayaran biduk kecil kita harus kandas di batas usiaku, namun jika boleh sekali lagi aku meminta. Lepaslah aku dalam penghambaan kita bersama untuk yang terakhir kalinya. Jadilah kau imamku, dan aku menjadi makmummu. Hantar aku untuk menemui kekasih sejati keikhlasan.
            Seperti mampu menembus cakrawala batinku. Tanpa isyarat apalagi permohonan dariku, kau beranjak ke kamar mandi ‘tuk berwudu. Kudengar gemericik air memecah kesenyapan ujung malam yang kelat. Lalu tak lama berselang kulihat kau mengusap debu-debu di dinding kamar dekat kepalaku. Kemudia tangan lembutmu mengusapkannya di wajahku. Tiga kali berturut-turut, kemudian tanganmu berpindah ke tangan kananku, kauusap dari sikuku hingga jemari-jemari tanganku, kemudian hal yang sama kaulakukan ditangan kiriku. Terakhir kauletakkan tangan kiriku di antara perut dan dada kemudian dengan perlahan tangan kananku kauletakkan di atasnya.
            “Kita sembahyang bersama, Sayang. Kita akan berdoa untuk kesembuhanmu.” Lembut kau bisikkan kata itu di telinga kananku. Kuanggukkan kepalaku tanpa bisa bicara padamu. Dua hari ini memang aku sudah sangat kesulitan untuk berbicara. Hanya ada titik-titik bening di sudut mataku, mewakili ucapan trimakasihku untukmu. Kau bentangkan dua tikar sembahyang, datu untukmu, satu lagi kausiapkan untukku, meski aku tak mampu menempatinya.
            Lamat-lamat kudengar kau membaca ikomat. Lalu dengan suara sedkit gemetar oleh letupan rasa haru, kaubaca iftitah, dilanjutkan membaca al-Fatihah, dan membaca al-Falaq. Sampai kau takbiratul ihrom aku terus mengikuti lafazmu dengan bahasa nurani meski dengan nafas tersengal.
            Tiba-tiba sejumput angina dingin menerpa wajahku, dan aku seakan-akan melihat wajah lain yang menyeruak di antara nuansa hening itu. Sekelebat wajah penuh cahaya tersenyum padaku. Aku merasa tubuhku semakin dingin, dan tiba-tiba saja aku merasa seperti Quttnun yang melayang dibawa sosok rupa yang tak bisa kuraba.
            Subuh yang basah, kudengar kau masih khusuk berdzikir, bertahmid. Dan berdoa dengan suara gemetar dan terbata-bata. Aku semakin jauh meninggalkanmu, Sayang. Tubuhku terus melayang melewati lorong-lorong panjang yang mencekam. Sosok rupawan itu pu nmenghilang. Tiba-tiba aku merasa sendirian dan dihempaskan dalam lorong kegelapan. Lorong kelam itu begitu panjang, nafasku mulai tak teratur. Seiring denyut jantung yang mulai mengendur. Aku betul-betul telah kehilangan kesadaran.
            Dalam alam bawah sadar aku seperti dibawa masuk ke dalam ruang yang gelap dan pengap. Bau busuk menusuk hidung. Dan suara-suara aneh lamat terdengar di telingaku. Tambah lama suara-suara itu bertambah jelas, seram dan menakutkan. Ada suara seperti meratap pilu, ada lengkingan menyayat kalbu dan ada isak tangis yang begitu menggetarkan sukmaku. Aku tidak bisa melihat semuanya secara nyata. Namun semua suara itu seperti sangat dekat denganku.
            Aku ingin berlari, tapi kemana? Saat ini pun aku tak tahi sedang berada dimana? Sudah matikah aku? Namun suara hatiku mengatakan belum. Dalam kebimbangan dan kepasrahan, kesebut berulang kali Asma Allah. Sepotong ayat dari surat Al-Baqarah yang begitu kuhafal, langsung, mengalun dari kedua bibirku: wa ‘s-ta’inu bi ‘s-habr-i wa ‘s-shalah wa innaka la kabirat-un illa ‘ala ‘l-kasyi’in allazdin-a yazhunnun-a annuhum mulaqu robbihim wa annahum alayh-I raji’un. Suaraku yang kupikir hanya terdengar olehku, ternyata begitu bergema.
            Tiba-tiba aku seperti melihat sati titik cahaya dan semakin lama semakin membesar. Dalam hitungan detik aku sudah dapat melihat sekelilingku. Subhanallah….
            Di satu hamparan yang seperti slide aku melihat imamku masih duduk bersimpuh di atas tikar pandan. Menjerit aku memanggil-manggil namanya. Namun ia tak pernah mendengarku. Bahkan slide itu kini bertukar dengan pemandangan yang lebih menakjubkan. Aku seperti melihat alam yang begitu indah, ada bunga-bunga, sungai-sungai yang mengalir di dalamnua susu dan madu, buah-buahanayang menggiurkan, dan pada bidadari yang cantik jelita.
            Ya Allah, inilah impian setiap penghambaan makhluk-Mu pada-Mu. Aku pun berusaha menjamahnya. Namun lagi-lagi slide itu menghilang. Beranti dengan slide diriku. Aku seperti melihat fragmen atas semua lakon yang sudah kulakukan, dan itu membuatku merasa betul-betul telanjang. Memang tak ada yang dapat kusembunyikan dari-Mu.
            Ingin kugapai gambar sendiri. Namun lagi-lagi slide itu pupus dan berganti  dengan gambarmu yang dikelilingi oleh makhluk-makhluk menyeramkan. Mereka semua menyerangmu dari segala penjuru. Ada yang memukul dadamu dengan godam, ada yang kulihat menimpa batu besar di kepalamu, ada yang lebih beringas ingin mencongkel kedua matamu dan darah kulihat sudah membanjiri tikar sembahyangmu.
            Aku menjerit-jerit histeris. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk menolongmu, maksud hatiku. Tapi justru makhluk lain yang lebih menyeramkan datang padaku. Ia memberikan reaksi yang sama padaku. Aku berusaha berlari sambil terus memanggil namamu. Makhluk yang teramat menyeramkan itu pun terus memburuku. Aku merasa tak kuat lagi untuk berlari. Tubuhku terhuyung dan aku terjatuh dari ketinggian yang tak terukur.
            “Aaaakhhhh!” aku menjerit sekuat tenaga. Tes! Satu titik air jatuh tepat di kedua bibirku. Kubuka mata.
            “Sayang, kau pasti bermimipi buruk lagi. Itu karena tikar sembahyang itu sudah kubentangkan, tapi tidak kaufungsikan mala mini. Ayo bangun! Kita tahajud bersama.” Imamku mengingatkan.

{ 1 komentar... read them below or add one }

- Copyright © 2013 Impossible is Nothing... - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -