- Home >
- Tari Gandrung >
- Tari Gandrung - Asli Banyuwangi
Posted by : Unknown
Rabu, 20 November 2013
GANDRUNG, TARI ASLI BANYUWANGI
Kata ""Gandrung"" diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Pertunjukan Gandrung Banyuwangi
Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa,
dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah
jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya,
Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan,
pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak
resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut
kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan
berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).
Sejarah
Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya hutan
“Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan
pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik
sebagai bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang Demikian
antara lain yang diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.
Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya
antara lain menulis sebagai berikut: Asalnya lelaki jejaka itu keliling
ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan
sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka
membawanya didalam sebuah kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab
“Gandrung Lelaki”).
Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan
cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa gandrung
semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi
berupa kendang dan beberapa rebana (terbang). Mereka setiap hari
berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat
Balambangan sebelah timur (dewasa ini meliputi Kab. Banyuwangi) yang
jumlahnya konon tinggal sekitar lima ribu jiwa, akibat peperangan yaitu
penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767
untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi, hingga berakirnya
perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dimenangkan oleh Kompeni pada
tanggal 11 Oktober 1772. Konon jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri,
tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau di selong (di buang) oleh
Kompeni lebih dari enam puluh ribu jiwa. Sedang sisanya yang tinggal
sekitar lima ribu jiwa hidup terlantar dengan keadaannya yang sangat
memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan
banyak yang belindung di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para
janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua.(telah yatim piyatu)
dan selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain.
Seperti ke Bali, Mataram, Madura dan lain sebagainya.
Setelah usai pertunjukan gandrung menerima semacam imbalan dari
penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi lainnya dan sebagainya.
Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan
sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya
sangat memprihatinkan dipengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik
mereka yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan
hidup dihutan-hutan dengan segala penderitaannya walau peperang telah
usai.
Mengenai mereka yang bersikeras hidup di hutan dengan keadaannya yang
memprihatinkan tersebut, disinggung oleh C. Lekerkerker yang menulis
beberapa kejadian setelah Bayu dapat dihancurkan oleh gempuran Kompeni
pada tanggal 11 Oktober 1772, antara lain sebagai berikut; Pada tanggal 7
Nopember 1772, sebanyak 2505 orang lelaki dan perempuan telah
menyerahkan diri ke Kompeni, Van Wikkerman mengatakan bahwa Schophoff
telah menyuruh menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan
amuk dan yang telah memakan dagingnya dari mayatnya Van Schaar. Juga
dikatakan bahwa orang-orang Madura telah merebut para wanita dan
anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil
melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang
dialami mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk
sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap dihutan-hutan seperti;
Pucang Kerep, Kali Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap
keras tetap tinggal dalam hutan dengan segala penderitaannya.
Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan
yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi
tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup
bercerai-berai di pedesaan, di pedalaman dan bahkan sampai yang masih
menetap di hutan-hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan, kemudian
mereka mau kembali kekampung halamannya semula untuk memulai membentuk
kehidupan baru atau sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum
yang kemudian tinggal di ibukota yang baru di bangun atas prakarsa Mas
Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru dibangun dikenal dengan nama
Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad
(Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan
kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah
dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi
Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan
Kompeni (yaitu yang dewasa ini meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi,
seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada
tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita
penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun,
namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah)
bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung
sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak
ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para
lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte
(1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini
adalah kendang. Pada saat itu, biola
telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun
lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran
Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti
perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada
tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh
adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai
nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero
Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya
boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun
sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan
gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber
mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin
terdesak sejak akhir abad ke-20.
Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi