Popular Post

Popular Posts

Posted by : Unknown Rabu, 20 November 2013

                                                                      Bidadari Surgaku
Oleh : Zeffri Irawan

Bersama kemilau sinar matahari sepenggalah, panas menjilat bumi untuk mengabarkan pada dunia bahwa siang hampir mencapai puncak. Seluruh penghuni alam bertandang, menggerakkan seluruh sendi tubuh, menari, bagai pucuk ilalang yang tergoyah angin. Mereka menari tanpa nada, bergoyang tanpa irama. Hanya bumbu harapan yang mendekap jiwa, menggemulaikan tarian kehidupan di setiap lorong yang semakin sesak. Inilah tarian kehidupan yang akan membawa ke puncak takdirnya. Dan, ini pulalah kesaksian matahari yang terus menyinari warna kehidupan pada semua manusia, yang dengan menjinjing harapan selalu mendamba setiap yang dilakukan dapat menuai hasil yang diinginkan.
Hari yang indah berbalut dengan segala anugerah Allah SWT. Hangatnya sinar mentari mengiringi kisah perjalanan diri yang tengah mengarungi sebuah bahtera biduk kecil sendiri, mengharap seorang pendamping perjalanan panjang ini segera hadir mendampingi sosok diri. Menjadi teman setia sekaligus makmum untuk setiap shalat kusyu’ yang akan kami jalani. Seorang makmum yang baik dan terbaik untukku, yang masih belajar menjadi imam.
“Astagfirullah”, tersadar aku dari lamunan yang tengah menguasai hati, besertanya tiba-tiba terdengar bunyi indah dari tempat yang begitu suci. Lantunan indah yang memanggil setiap jiwa yang rindu untuk bertemu dan mengahadap dengan pencipta dan pemilik ruh dalam diri ini. Segera ku bergegas untuk mendatangi panggilan dan menuju ke tempat yang penuh rahmat itu. Tak lupa ku raih selembar sajadah yang senantiasa menjadi alas setia disetiap waktu ku hadapkan diri, hati, dan jiwaku untuk bermunajat kepada Illahi Rabbi.
Ku jalani dengan tulus, rakaat demi rakaat yang kupersembahkan hanya kepada-Nya, menyadari bahwa diri telah baligh dan berkewajiban untuk menunaikan segala ibadah wajib yang diperintahkan-Nya melalui firman maupun para utusan-Nya. Kewajiban ini tidak pernah membuatku mengeluh dan lelah, karena bagiku semua ini adalah keharusan dan bukti besarnya rasa syukurku atas segala kebaikan dan kemurahan yang Dia berikan kepadaku. Jika ku telaah lebih dalam, maka akan semakin takut diriku untuk melalaikan perintah-Nya dan semua kewajibanku itu. Karena, tidak terelakkan bahwa segala karunia-Nya begitu kental menyatu di setiap hembus nafasku, setiap detak jantungku, dan setiap aliran darah ke seluruh tubuhku.
Tak pernah ku perintahkan nafas ini untuk terus berhembus, jantung ini untuk tetap berdetak, dan darah ini untuk terus mengalir membawa sari-sari makanan dan zat-zat penting lain keseluruh tubuhku agar setiap organ dalam diri ini senantiasa bekerja seperti ketetapan yang telah menjadi bukti kebesaran-Nya. Tetapi itu semua berjalan dan bekerja tanpa ada sedikitpun perintah dariku, dan tak perlu repot bibir ini selalu memerintahkan setiap organ itu untuk bekerja sesuai dengan fungsinya, karena semua itu bekerja dengan sendirinya, bekerja tanpa henti dan tunduk kepada perintah pencipta-Nya. Bagaimana aku bisa mengelak dan melanggar perintah-Nya, karena telah kusadari bahwa organ tubuhku pun senantiasa bekerja dan berjalan dengan ikhlas dan tulus untuk terus mematuhi perintah-Nya. Pasti akan kurasakan malu yang teramat besar, apabila ku tak mampu mensyukuri dan menjalankan perintah-Nya, karena aku sebagai hamba-Nya telah dianugerahi otak untuk berfikir dan hati untuk merenungkan hal-hal mana saja yang menjadi kewajibanku dan yang menjadi keharusan untuk senantiasa aku lakukan sebagai bukti rasa syukurku terhadap segala bingkisan anugerah-Nya. Itu hanyalah sepenggal contoh dari sekian banyak karunia yang diberikan-Nya kepadaku dan kepada seluruh umat-Nya.
Seusai melaksanakan kewajibanku, ku mengikhlaskan diri untuk tetap duduk bersila sejenak, disertai hati yang tulus untuk terus bertasbih dan mata yang terpejam untuk dapat menggapai sebuah kekusyu’an ibadah. Tak lupa, bait-bait doa pun ku panjatkan untuk kedua orang tuaku, keluargaku, dan seluruh saudaraku umat Islam. Aku mulai menengadahkan tangan dan terucap shalawat kepada junjunganku Nabi Muhammad SAW sebagai pembuka untaian doaku, ku lanjutkan dengan membaca doa selamat dan ku akhiri doaku dengan bacaan surah Al-Fatihah, maka selesailah panjatan doaku kepada-Nya.
Berdiri ku dari simpuhan diri yang begitu lemah di hadapan illahi. Tanpa kusadari terbenam sepasang mata yang mengintai laku diri dari seberang kaca transparan yang terpasang di jendela salah satu sudut tembok masjid kecil ini. Sesosok wajah yang begitu ku kenal segera terbangun dari duduk silanya yang begitu tenang sedari tadi. Beliau adalah P. Manshur, takmir masjid ini.
“Assalamualaikum Wr. Wb,” sapanya dengan nada lirih penuh kebijaksanaan.
“Waalaikumsalam Wr. Wb,” jawabku tenang dan serasa bergetar relung hati menjawab salam itu.
Aku dan P. Manshur sudah sejak lama saling mengenal, karena memang aku sering menunaikan shalat berjamaah di masjid ini dan P. Manshur adalah takmir di masjid ini, jadi setiap kali jamaah shalat lima waktu ditunaikan, maka selalu ada P. Manshur dalam barisan jamaah itu, tidak jarang bahkan P. Manshur yang menjadi imam dalam shalat berjamaah tersebut. Tapi entah mengapa, beberapa hari terakhir P. Manshur agak jarang terlihat mengikuti shalat berjamaah, terakhir aku dengar beliau mengumandangkan adzan adalah dua hari yang lalu. Entah apa yang membuat P. Manshur menjadi begitu, mungkin ada sesuatu hal yang sedang terjadi.
“Ahmad, aku sebenarnya telah lama mengawasimu, dan sekarang aku telah yakin dengan keputusanku,” katanya dengan sedikit terbata-bata.
“Maaf pak saya tidak mengerti, keputusan apakah yang engkau maksud?” sahutku penuh rasa ingin tahu.
“Di desa kita, sudah sangat jarang ada pemuda yang rajin berjamaah di masjid, bahkan untuk shalat lima waktu saja mereka sering lalai dan meninggalkannya, aku telah mengetahui seberapa kuat imanmu, dan aku ingin kau menggantikanku untuk menjadi muazdin di masjid ini,” tiba-tiba suara P. Manshur terpotong karena beliau batuk berkali-kali.
Batuk itu seakan bisa menggambarkan betapa sebuah kesakitan yang mendalam tengah menguasai jiwa P. Manshur, walau aku tidak mengetahui kepastiaannya, tetapi wajahnya pun semakin pucat terlihat oleh mataku, semakin membuatku yakin bahwa sebenarnya beliau menyembunyikan sebuah kesakitan dalam dirinya. Umur memang telah menjadikannya lemah, tubuhnya pun seakan tergerogoti oleh usianya yang semakin tua, badannya kurus dan jalannya pun teronta-ronta, tetapi semangat beliau tidak pernah padam untuk melaksanakan kewajibannya mengumandangkan panggilan shalat yang begitu mulia. Itulah yang membuatku bangga dan terkesima kepada sosok lelaki tua yang bernama P. Manshur itu.
“Pak, engkau baik-baik saja kan?” sahutku cepat menanggapi keadaan P. Manshur yang terlihat kurang baik.
“Tidak apa-apa nak, aku baik-baik saja. Aku sudah tua renta, suaraku terasa sulit untuk keluar, dadaku terasa sesak untuk mengucap, dan aku rasa waktuku sudah dekat,” jawab P. Manshur dengan senyuman yang besertanya terselinap bayang rasa sakit di wajahnya.
Hatiku bergetar dan nadiku serasa berhenti mendengar ucapan itu, ucapan yang seakan memberi sinyal bahwa P. Manshur akan segera pergi.
“Maaf pak, apakah engkau tidak salah memilih saya?” tanyaku untuk mendapat kepastian dari P. Manshur.
“Iya nak, aku sudah pertimbangkan semua ini, dan aku yakin dengan iman dan semangatmu untuk menyuarakan panggilan shalat yang mulia ini. Aku pun juga tahu dari ibumu, jika engkau sangat ingin menjadi muadzin,” jawab P. Manshur dengan senyuman lebar terlukis di wajahnya, membuat ku semakin yakin dengan keseriusan P. Manshur walaupun beserta senyuman itu juga sempat terlihat bayang kesakitan yang begitu tergambar jelas di sudut-sudut matanya yang telah rabun dimakan usia.
“Saya bukanlah seseorang yang sempurna, iman saya pun juga masih sangat dangkal, begitupun dengan kemampuan saya mengumandangkan adzan, tapi demi kepercayaan bapak dan demi perintah mulia dari Allah SWT, saya akan berusaha untuk menjadi muadzin yang senantiasa mengajak umat islam beribadah dan menunaikan anjuran shalat berjamaah di masjid,” sahutku dengan rasa syukur dan keyakinan kuat.
Aku akui sudah sejak lama aku ingin menjadi pengumandang panggilan shalat di masjid ini. Masjid yang selalu menjadi tujuan utamaku untuk menunaikan shalat lima waktu dan shalat sunnahku yang lain. Mengumandangkan adzan merupakan sebuah kebanggaan tersendiri untukku. Memanggil setiap jiwa untuk menghadap dan bersujud kepada-Nya, merupakan sebuah ibadah yang mulia, bahkan di akhirat nanti akan ada sebuah perbedaan yang membedakan antara para muadzin dan orang-orang yang jarang sekali mengumandangkan adzan, itulah salah satu bukti bahwa menjadi muadzin adalah sebuah ibadah yang mulia dan memiliki nilai pahala yang besar di hadapan Allah SWT.

                                                                              ***

Hari-hari berlalu dengan penuh kedamaian yang senantiasa tersenyum menghamparkan kasih Illahi untuk seluruh umat manusia yang merindukan teduhnya naungan payung sang penguasa binar mentari. Aku pun mensyukuri dengan hikmat segenap anugerah yang terbingkis dalam untaian doa yang selalu terpanjatkan saat ku relakan diri untuk mempersembahkan butiran sujud panjang dalam rakaat shalat wajib dan sunnah yang kujalani. Tak pernah terusaikan bait syukurku akan segala gores takdir yang termaktub di lembaran-lembaran singgasana Lauful Mahfudz-Mu.
Pagi ini merekahlah semangat diri untuk berjuang meneruskan kisah perjuangan yang terus ku bangun pada kokohnya pondasi iman dan takwa diri yang begitu sederhana membias lembap dalam setiap iringan nafas diri. Perjalanan yang begitu berarti karena terpenuhi dan termaknai dengan curahan hikmah dan pelajaran yang tak pernah aku temui di setiap renungan malam yang senantiasa kujalani sepenuh hati. Seperti jadwal rutinitas mentari yang terbit untuk menerangi segala aktivitas hari dan terbenam di ufuk barat pijakan ini, yang menjadi tanda bahwa hari telah berganti menjadi malam yang penuh dengan ketenangan, waktu yang biasa aku gunakan untuk lebih mendekatkan hati, jiwa, pikiran, dan diriku kepada-Nya, pemilik roh dan hidup yang tengah kujalani.
Aku pun mengikhlaskan jiwa dan ragaku untuk menjalani rutinitas keseharianku, yaitu menggembala kambing. Tidak banyak kambing yang aku rawat, hanya lima ekor, dan semuanya adalah kambing warga yang sengaja digembalakan kepadaku. Setiap pagi hari, aku berangkat menggembala menuju ladang yang banyak ditumbuhi oleh rumput. Aku selalu mencari rumput-rumput yang masih segar dan bagus untuk makanan kambingku, agar pertumbuhan kambing-kambing yang aku gembala pun juga baik. Hingga menjelang adzan dhuhur datang, aku baru akan pulang, tidak lupa aku turut membawa rumput yang juga aku dapat dari ladang tempatku menggembala sebagai makanan untuk kambingku saat malam hari, jadi persediaan makanan untuk kambingku selalu ada sampai besok pagi harinya dan saat aku bawa kambingku ke ladang untuk mencari rumput lagi. Begitulah aktivitasku sehari-hari. Selain itu, aku masih punya aktivitas lain yaitu mengajar di TPQ di Masjid Al-Huda, masjid yang senantiasa menjadi tempatku untuk mempersebahkan sujud-sujud panjang di setiap ibadah shalatku.
Mulai jam 3 sampai jam 5 sore, setiap harinya aku mengajar Al-Qur’an dan juga materi dasar mengenai agama Islam. Umumnya, santri yang aku ajar berusia sekitar 5 hingga 12 tahun, atau anak yang masih duduk di bangku TK (Taman Kanak-Kanak) hingga anak kelas 6 SD (Sekolah Dasar). Di TPQ sederhana ini, kuluangkan waktu senggangku untuk mengajarkan firman Allah SWT yang begitu agung dan mulia kepada para santri yang ingin bisa mempelajari, memahami, dan membaca tulisan dalam Al-Qur’an. Selain itu, aku juga mengajar tentang dasar-dasar ilmu agama Islam yang insyaAllah bisa menjadi landasan, dasar, dan pedoman yang baik untuk anak-anak Islam dalam menghadapi gencarnya globalisasi dan modernisasi dunia menjadi lebih terbuka dan lebih berbahaya untuk semua lapisan masyarakat Islam yang tidak dibekali rasa iman dan takwa yang begitu besar kepada-Nya.
Sudah hampir dua tahun aku menjalankan aktivitas ini. Semua bermula saat guru TPQ yang dulunya mengajar Al-Qur’an, berpindah ke luar kota untuk mengenyam pendidikan agamanya. Secara otomatis,, TPQ Al-Huda kekurangan tenaga pengajar, karena saat itu hanya ada tiga guru pengajar dan itu berbanding jauh dengan jumlah murid yang mencapai 75 orang. Maka, aku yang sangat mengenal lingkungan Masjid Al-Huda, diminta oleh takmir Masjid Al-Huda untuk menjadi pengajar sementara menggantikan posisi yang kosong tersebut. Hingga waktu yang masih belum dapat ditentukan sampai kapan, dan apabila keahlian pengajaranku sudah dirasa pantas dan baik
Aku sudah lulus SMA sejak setahun lalu, tapi hingga kini aku belum bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena biaya yang menghambat dan menghalangi keinginanku itu. Sebenarnya, sangat besar keinginanku untuk bisa melanjutkan menimba ilmu di perguruan tinggi negeri, tepatnya perguruan tinggi agama. Aku ingin memperdalam ilmu agamaku dan menjadi menteri agama. Oleh karenanya, aku ingin mengeyam pendidikan setingi-tingginya hingga mendapat gelar sarjana dan bisa meraih cita-citaku itu.
Tapi, hingga kini semua itu bagai mimpi dalam tidur panjangku. Mimpi yang menjadi bayang setiap istirahatku dari letihnya raga menjalani hari-hari yang begitu keras. Bukan berarti aku pasrah dan putus asa dengan semua yang ada, tetapi mimpi yang begitu tinggi itu selalu yang menjadi motivasiku untuk tetap tegar dan sabar melangkahkan kedua kakiku menapaki jalan hidup yang sungguh berliku-liku ini. Kuyakini bahwa Allah SWT sudah menuliskan takdir yang terbaik untukku, meski berat menjalani cobaan hidup, aku selalu percaya bahwa Allah SWT akan mengirimkan sebuah kebahagiaan yang tak pernah terbayangkan olehku. Kebahagiaan yang lebih dari yang aku harapkan, dan hasil dari kerja keras, kesabaran, usaha, perjuangan, dan doa tulusku selama ini. Itulah yang membuat aku tegar dan tetap berdiri kokoh walaupun deburan ombak menghalau dan merintangi jalan yang kulewati.

                                                                                  ***

Mentari tersenyum cerah membuka matanya yang begitu berbinar terang di pagi yang sunyi ini. Mengelabuhi segenap udara yang bermaksud datang membentuk segumpal awan gelap untuk mencipta hujan yang akan menerpa dan membasahi bumi yang tengah tergeletak kering menerima kenyataan hari. Itu semua bagai menjadi gambaran nyata cerminan diriku. Walau cobaan hidup ini begitu genjar menembakkan peluru pahitnya yang tepat menghujam tubuhku, tetapi hatiku tak pernah merasa sakit dan mati. Bagaimana aku bisa merasa seperti itu, dengan segala anugerah yang telah diberikan kepadaku, masihkah aku harus merelakan diriku untuk pasrah menerima keadaan yang sesungguhnya menjadi jalan ujianku, ujian yang akan menghantarkan jiwa yang lemah ini ke depan gerbang kemenangan dan kebahagiaan. Selalu itu yang terlantun dihatiku saat semangat di hati ini mulai lapuk dan roboh didera lelah dan kesukaran hari-hari yang seringkali datang menghampiri.
Bercerita tentang sang air yang mengalir pada takdir ketetapannya, membawa segenap kabar dari hulu yang penuh dengan harapan untuk melangkah pasti menuju hilir yang penuh dengan ketidakpastian. Lakunya yang begitu tenang bagai melukiskan ketawakalanku pada sang pencipta garis kehidupan ini. Menjadi bukti takwaku pada-Nya, dan tanda nyata segenap ketulusanku atas segala nada dalam bait syukur dan peraduan hati. Mengahadap pada penjuru hati yang terkunci pada sebuah titik kesabaran. Tidak akan pernah ku hentikan hatiku untuk menciptakan tetesan embun kesabaran dalam diri, untuk menjalani kerasnya rintangan yang mengahadang di sepanjang titian panjang perjalanan nafas ini.
Sore ini, semua berjalan dengan penuh ketenangan hati dan jiwa. Tidak seperti biasanya, dinginnya udara senja ini menusuk dan meresap tajam hingga menyentuh tulang-tulang penegak raga diri, bagai bongkah es yang terperangkap dalam jaringan tubuhku. Kuusaikan shalat ashar berjamaah dengan para santri. Kebetulan sore ini aku lah yang diperintahkan menjadi imam, sekaligus pengumandang adzan dalam sunyinya senja yang diselimuti hawa dingin yang seakan membawa kabar penuh kedamaian dari taman-taman surga.
Terenungkan segala salah dan dosa yang kental menyatu dengan raga dan hati, walau senantiasa kata istighfar terlantun lirih dalam sunyinya peraduan malam. Tetapi, kuterbayang akan gelimang dosa dan kesalahan yang seringkali aku lakukan, terutama kepada kedua orang tuaku yang telah berjasa besar untuk kehidupan sang pejuang kecil. Pernah hati ini menakiti beliau, pernah sikap ini membuat beliau marah, dan juga pernah laku diri membuat hati yang begitu suci menjadi kecewa dan lantas terluka menerima sebuah hadiah pahit dari anak yang telah dikandungnya selama 9 bulan lebih.

                                                                              ***

Setahun berlalu, tapi tidak ada perubahan pasti dengan hari-hariku. Masih tetap sama seperti dahulu, kegiatanku masih berjalan terus sesuai takdir yang telah dipahatkan dalam lingkaran hidupku. Entah kenapa, ingatanku tiba-tiba tertuju pada sebuah syair yang pernah aku baca dalam sebuah perenungan malamku, perenungan yang tidak akan pernah aku lupakan selama hidupku, karena perenungan itu adalah perenungan terakhirku bersama dengan ayahku, yang kini telah hidup berdampingan dengan Allah Azza Wa Jalla. Sebelum kepergiannya, sebuah syair ciptaannya terlantun indah di gendang telingaku, bagai energi nuklir, syair itu menggetarkan seluruh jiwa dan ragaku, menjadi sebuah semangat dan motivasi yang begitu besar dan berarti dalam hidupku untuk terus berjuang dan tetap bertahan dalam kerasnya bebatuan hidup yang harus aku pecahkan satu per satu. Syair terakhirmu, akan selalu ku kenang, ayahku.
Takdir diri telah terpatri
Pada permukaan kisah sang hari
Mengeringlah segala tanda ketetapan Illahi
Tergores indah dengan tinta suci tulusnya hati
Sembari menuai syukur yang selalu hidup
Atas segala anugerah dan kasih Rabbi
Jalani semua jalan yang telah menjadi
Sebuah pahatan cerita untuk hidupmu
Sang Pejuang Kecilku
Penerus perjuangan dan kisah indah
Ketetapan sang Maha Penentu Takdir hamba-Nya
Untukmu,
Pejuang Kecilku
Butir air mataku senantiasa tercipta di setiap sudut mata ini, saat kuingat pesan dari syair yang ingin disampaikan oleh ayahku. Pesan yang begitu dalam untukku, amanat yang begitu berarti bagiku, dan sebuah kepercayaan yang sangat besar untuk Pejuang Kecil seperti aku. Pejuang yang benar-benar merasakan sulitnya perjuangan untuk menempuh tembok pelangi.

                                                                                ***

Teriknya sinar sang raja hari, seakan menyengat dalam ke tubuh kurusku ini. Seakan membakar semangatku untuk segera bangun dan memulai hari yang telah terjadwal sedemikian tertata rapi. Setelah sekian lama kulupakan angan diri untuk mempunyai sosok pendamping yang begitu tulus mendampingi, ternyata Allah SWT telah menetapkan dalam buku takdirku bahwa hari ini akan terjadi sebuah pertemuan yang tidak pernah terduga dengan seorang yang kuharapkan menjadi sosok yang telah menjadi ketetapan Allah SWT untukku. Seorang pendamping yang kuharapkan menjadi teman setia perjalanan panjangku untuk menempuh setiap jengkal perjuangan menggapai mimpi yang begitu tinggi melayang dalam untaian ikhtiar diri.

Sore ini, aku mengajar Al-Qur’an seperti hari-hari biasanya. Di TPQ yang masih tetap sama seperti tiga tahun lalu, tetapi dengan santri yang terus bertambah disetiap bulannya. Bahkan diri telah melupakan segenap harapan untuk dapatkan seorang pendamping yang dahulu sangat ingin segera hadir untuk mendampingi setiap detak jntung dan nadi hari. Pertemuan yang begitu suci terjadi saat hatiku tengah menjalankan perintah sekaligus ibadah yang sudah bertahun-tahun aku jalani dengan tulus ikhlas. Dan kusadari bahwa, sebuah hal yang kita anggap baik, beum tentu baik untuk kita, karena terkadang Allah SWT telah mempunyai ketetapan tersendiri untuk kita. Dan sebaik-baiknya rencana atau harapan adalah sebuah takdir yang berasal dari Maha Pencipta Takdir seluruh umat manusia. Aku hanya berusaha jalani semua yang ada, tetapi kenyataan dan ketetapan adalah tetap menjadi ketentuan mutlak yang dimiliki-Nya.
Jam dinding telah menunjukkan pukul setengah lima sore. Sudah waktunya para santri untuk bersiap-siap pulang. Tetapi, entah karena hal apa P. Shaleh, salah satu guru senior di TPQ ini memanggil Maryam untuk menghadap kepada beliau. Maryam adalah salah satu murid yang paling cerdas, dia seringkali menjuarai lomba-lomba agama, seperti contohnya lomba BTA (Baca Tulis Al-Qur’an). Mungkin P. Shaleh memanggil Maryam kali ini juga untuk membicarakan persiapannya untuk mengikuti sebuah lomba besar di kota yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.
Aku yang kurang enak badan, bergegas pulang setelah berpamitan dengan P. Shaleh yang aku lihat sedang membicarakan hal serius dengan Maryam. Lalu, aku keluar menuju halaman depan masjid dan selanjutnya berjalan pulang. Tetapi, aku terkejut saat aku melihat seorang muslimah yang sedang kelihatan gelisah menunggu di depan masjid. Jika aku lihat dari raut wajahnya, sepertinya dia sedang menunggu seseorang. Lantas, aku menyapanya dan menanyakan apa yang sebenarnya dia tunggu. Dan mungkin saja aku bisa membantunya, karena aku rasa sebelumnya aku tidak pernah melihat wanita itu di desaku.
Setelah beberapa menit berbincang, ternyata benar dugaanku, dia sedang menunggu Maryam yang masih ada urusan dengan P. Shaleh. Dan setelah aku bertanya-tanya lebih jauh, ternyata dia adalah kakak sepupu Maryam yang berasal dari kota. Dia baru datang kemarin malam dan karena sore ini orang tua Maryam sedang sibuk, maka dia yang diminta untuk menjemput Maryam.
Aku sempat berbincang lumayan lama dengan dia. Aku merasakan ada yang berbeda dengan dirinya, karena aku berpikir bahwa orang kota tidak seramah itu, tapi ternyata dia begitu ramah dan santun kepadaku. Namanya adalah Asyifa. Sebuah nama yang begitu indah bagiku. Karena pemilik nama itu mempunyai penampilan yang begitu menggambarkan sosok wanita muslimah dan sikapnya pun sangat mencerminkan sikap yang begitu sesuai dengan ajaran Islam.
Wanita yang sejujurnya menjadi idaman semua lelaki, termasuk juga idamanku selama ini. Pertemuan antara dua hati yang sebelumnya tak pernah saling mengenal, tetapi terasa ada sebuah ikatan yang menjadi penghubung antar dua jiwa yang tak pernah dipertemukan sebelumnya. “Subhanallah, apakah ini jodohku dari-Mu, Ya Allah?” terbesit suara hatiku dalam sesaat lamunanku.
Tiba-tiba, terdengar suara Maryam yang berlari menghampiri Asyifa dengan senyum yang merekah di kedua pipinya. Dan itu membuat lamunanku hilang secepat angin yang berhembus di atas awan. Tidak hanya itu, diriku pun terkaget dengan kehadiran Maryam yang begitu cepat tanpa ada tanda-tanda kedatangannya sebelumnya. Mengaburkan bayangan tentang pertemuan kisah yang kuharapakan menjadi cerita yang indah antara dua hati yang berlandaskan ketulusan kasih sayang kepada Illahi Rabbi.
Semenjak pertemuanku dengannya sore itu, seringkali kami berbincang-bincang tentang agama saat sore hari sebelum jam pulang. Bukan aku yang sengaja meminta waktu untuk berbincang dengan Asyifa, tetapi Asyifa sendiri yang ingin belajar lebih dalam mengenai agama Islam. Karena sebagai muslimah yang sudah beranjak dewasa, dia masih merasa belum tau banyak mengenai ajaran agama dan masih harus belajar banyak untuk bisa menjadi sosok seorang muslimah sejati yang mempunyai pengetahuan yang luas tidak hanya mengenai urusan dunia atau dalam hal teknologi, tetapi juga untuk urusan akhirat atau dalam agama. Asyifa pernah mengatakan kepadaku tentang sebuah kata-kata motivasi yang membuat dirinya sadar untuk lebih memperdalam ilmu agamanya.

Dunia dan akhirat itu ibarat rumput dan padi
Saat kita menanam rumput, maka tak akan tumbuh padi menyertai
Tetapi tanamlah padi, pasti rumput akan tumbuh bersamanya
Begitupun dunia dan akhirat nanti,
Saat kita mampu mendapatkan akhirat, maka dunia akan kita dapat juga
Tetapi, dapatkan dunia, belum tentu akan kita dapat akhirat besertanya
Hampir setiap kali menjemput Maryam, aku selalu bertemu dengan Asyifa dan meluangkan sedikit waktu untuk saling berbagi tentang hukum-hukum agama. Aku akui, aku memang bukan lulusan perguruan tinggi agama ternama, bahkan aku belum pernah mencicipi pendidikan di perguruan tinggi agama sebelumnya. Tetapi entah kenapa, Asyifa seperti tertarik untuk menanyakan hal-hal yang masih belum diketahui olehnya kepadaku. Dan alhamdulillah, hampir semua pertanyaannya selalu bisa aku jawab dan pecahkan dengan lancar.
Setelah berulang kai berbincang-bincang, dapat aku ketahui jika Asyifa sengaja datang ke kota di karenakan ikut dengan ayahnya, ibunya pun juga ikut. Ayahnya adalah mahasiswa Fakultas Sosial di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta. Dan saat ini, ayah Asyifa sudah hampir menuntaskan pendidikannya di tingkat Sarjana 2 atau S2. Dan sebagai tugas akhir sebelum kelulusannya, ayah Asyifa harus menyelesaikan penulisan skripsi. Kebetulan karena ayah Maryam mempunyai rumah di desa, maka ayah Asyifa memutuskan untuk melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat desa untuk menjadi bahan dalam penulisan skripsinya. Oleh karena urusan itu, keluarga Asyifa harus tinggal di desa selama kurang lebih 2 minggu.

                                                                               ***

Semuaya berjalan begitu cepat, pertemuan pertamaku dengan Asyifa sungguh telah melukiskan sebuah cerita baru yang membekas lembab di dinding hatiku. Pertemuan yang begitu indah, antara dua hati dan jiwa yang saling membutuhkan seorang pendamping untuk merengkuh setiap rintang sepanjang tikar perjalanan yang sudah tergelar di hadapan.
Sehari sebelum kepulangan Asyifa ke kota, aku memberanikan diri untuk menuliskan sebuah surat yang aku tujukan memang khusus untuk dia. Surat yang aku tulis tepat setelah Allah SWT mengirim sebuah mimpi balasan atas shalat istikharah yang selalu aku jalani setiap malam, demi mendapatkan sebuah jawaban yang terbaik atas sebuah hal yang baik bagiku. Karena jawaban yang terbaik sesungguhnya hanya jawaban yang berasal langsung dari-Nya.


Untukmu : Asyifa

Muslimah yang membuatku kagum,
Mungkin tak pantas diri ini mengungkap rasa yang tersembunyi untukmu. Tetapi aku telah meminta ijin kepada Penciptaku untuk mendapat kepastian dari kepantasanku mengugkapkan ini kepadamu. Kujalani shalat istikharah di setiap malamku, dan jawaban itu telah Allah SWT berikan melalui mimpi yang terbingkis indah di perjalanan panjang tidur malamku. Aku ingin menjadi imam yang terbaik untukmu, dan kuinginkan kamu menjadi makmum yang terbaik untukku. Aku ingin meminangmu dengan segenap ketulusan hatiku, tapi aku akan menunggumu hingga engkau menerimaku menjadi imammu. Aku selalu berdoa disetiap shalat malamku, dekatkanlah jiwa kita berdua dan persatukan kita dalam sebuah ikatan yang halal, dan kita akan belajar bersama mengenai agama yang kita muliakan ini, Agama Islam. Jika kita memang jodoh, maka kita akan bertemu di sebuah pertemuan dan penyatuan sakral antara dua jiwa yang saling mengasihi atas landas karena Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih.

Dari : Ahmad


Seperti sembab rindu Adam kepada potongan rusuknya, Hawa, kita saling menepiskan gundah. Seperti gemuruh cinta di jantung Bilqis, the Queen of Saba’, kepada Sulaiman, kita saling menumbuhkan kegembiraan. Selembut tulus kasih Muhammad kepada Khadijah, kita saling belajar menangkap makna yang paling rahasia.
Aku ingin menjadi imammu sepenuh tunduk. Sebab hidup tak lain adalah hamparan waktu untuk melabuhkan ribuan ruku’ dan ribuan sujud yang tulus tercipta kehadirat-Nya. Di belakangku, ku inginkan kau belajar menerjemahkan dzikir pada untaian tasbih sederhana yang senantiasa menemaniku dalam sunyinya peraduan malam, sesaat sebelum sepasang tanganku dan tanganmu serentak menengadah gemetar ke langit kasih sayang-Nya Yang Maha.
Aku ingin menjadi imammu, pemimpin yang terbaik untukmu. Seorang pemimin yang bertanggung jawab atas semua kebaikan untuk diriku dan dirimu. Aku tak akan pernah memaksakan kehendakmu, tapi biarlah Allah SWT yang akan menunjukkan jalan terbaik untuk kita. Biarlah kepercayaan dan keyakinanmu mengalir alami di setiap meter jarak yang memisahkan jiwa kita berdua.
Berbulan-blan telah berlalu, tak ada kabar tentang dirimu yang kini telah pulang ke kota. Mungkinkah engkau telah melupakan keberadaanku di desa yang terpencil ini. Tapi, aku yakin jika dirimu tak akan semudah itu melupakan kehadiranku dalam hari-harimu selama berada di desa yang sangat berbeda dengan kehidupanmu di kota.
Tiba-tiba, sebuah kabar yang sungguh sangat mengagetkan hadir mengisi sebuah waktu yang sangat sunyi berlalu. Ku terima kabar dari Maryam bahwa sehari lalu telah terjadi kecelakaan dengan Asyifa. Kecelakaan yang membuatnya harus meregang nyawa dan juga menjadi sebuah kabar duka yang begitu mendalam menghujam deras di dalam hati dan jiwa yang begitu sangat menginginkan hadirmu sosok pendamping yang begitu sholehah sepertimu, sosok yang sangat memikat hatiku bukan karena kecantikan wajah, tetapi lebih karena kecantikan sifat sikap, dan akhlak muslimahnya.
Meneteslah air mata yang terjun deras menerpa ke pijakan diri yang tertatih lagi tanpa adanya sang penyemangat hari. Tanpa penggugah senyum hati, dan tanpa ada sosok muslimah yang selalu kubayangkan hadir disetiap ibadah malam yang ingin rutin aku jalani. Menjadi makmum yang memakmumiku dengan sepenuh tunduk, dan menjadikanku imam yang sebaik-baiknya imam dalam kehidupan bersama, dalam balutan status keluarga. Imam yang akan membawamu bersama keluarga kecil kita menuju surga, menuju tempat keabadian yang begitu indah dan sarat dengan kekekalan hidup, tanpa ada kesedihan, dan hanya akan ada kebahagiaan, kesenangan, kebersamaan, ketenangan, kedamaian, dan makna yang penuh dengan sinar rahmat yang begitu terang menyinari setiap insan manusia takwa, yang beruha senantiasa menjalankan segala perintah-Nya dan selalu menjauhi segala larangan-Nya.
Mungkin tak akan ada lagi sosok pendamping sepertimu, tak akan ada lagi yang menggantikanmu di hatiku. Dan aku ikhlaskan hatiku, jika memang engkau adalah jodohku, walau memang bukan jodoh yang akan dipertemukan di dunia, tapi jodoh yang dipertemukan di alam kekekalan, yaitu alam akhirat nanti, pendamping yang abadi untukku, menjadi Bidadari Surgaku. Seperti firman Allah SWT, semua umat-Nya pasti akan mendapat pendamping, entah nanti saat di dunia, atau jika tidak, maka pasti akan dipertemukan dengan jodohnya saat di akhirat nanti.
Aku disini hanya mampu berdoa, mendoakan yang terbaik untuk kita berdua. Apakah nanti kita bisa bersama, biarlah menjadi rahasia Illahi, Allah SWT yang telah menentukan kepastiannya. Satu hal yang selalu ada di hatiku, setiap hembus nafasku, setiap aliran darah ke seluruh tubuhku, setiap detak jantungku, doaku senantiasa terpanjat agar Allah SWT mempertemukan kita di surga, dan semoga engkau menjadi Bidadari Surgaku.


                                                                                 ***
                                                                              TAMAT

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Impossible is Nothing... - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -